Tidak bisa dibantah selama ini ada kesan bahwa ganti
menteri ganti kurikulum, akan menjadi kenyataan. Presiden Jokowi menegaskan
agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) membongkar kurikulum secara
besar-besaran. Presiden beralasan bahwa dunia saat ini sedang mengalami
perubahan yang sangat cepat sehingga kurikulum yang berlaku saat ini harus di-update dan di-upgrade sesuai
dengan perkembangan zaman.
Penempatan Nadiem sebagai Mendikbud yang baru, dianggap
orang yang tepat untuk menjalankan amanat perombakan kurikulum. Nadiem dinilai
sebagai nakhoda baru yang dapat melakukan percepatan perubahan dalam dunia
pendidikan untuk masa depan.
Sepak terjang Nadiem dalam mengembangkan teknologi berbasis
sistem aplikasi diharapkan dapat diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan,
termasuk perubahan kurikulum. Akan tetapi, persoalannya ketika berbicara
tentang kurikulum, apakah hanya persoalan teknologi semata? Tentu saja tidak.
Mendiskursuskan perombakan kurikulum bukanlah suatu yang mudah seperti membalik
telapak tangan dengan hanya gonta-ganti label mata pelajaran.
Kurikulum memiliki banyak aspek dan perlu dikaji secara
detail. Kurikulum mencakup dimensi yang begitu luas, mulai kurikulum formal,
yakni kurikulum sebagai dokumen resmi yang tertulis hingga hidden kurikulum,
yaitu kurikulum yang tidak tertulis, tetapi hidup di tengah masyarakat.
Kurikulum tidak hanya berkaitan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan,
tetapi juga berkaitan dengan aspek sikap, perilaku, dan karakter yang harus
dibangun.
Begitu pun halnya apakah merombak kurikulum dalam artian
mengubah sebagian atau beberapa aspek dari kurikulum? Ataukah membuat kurikulum
baru pada semua jenjang pendidikan, mulai pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, sampai pada pendidikan tinggi?
Persoalan lainnya, yaitu hal apa yang akan dirombak? Apakah
label mata pelajaran atau mata kuliah? Apakah labelnya tetap, tetapi materi atau
substansi pelajarannya berubah? Ataukah label berubah dan substansinya pun
baru? Inilah sekelumit persoalan yang harus dijawab Nadiem sebagai Mendikbud.
Perlu dipahami bahwa kurikulum hanyalah dokumen dan benda
mati. Sebaik apa pun kurikulum, tidak akan terlalu signifikan berdampak
terhadap kualitas pendidikan manakala yang menjalankan kurikulum, yaitu guru,
tidak ditingkatkan kualitasnya. Itu karena guru tidak hanya pelaksana
kurikulum, tetapi guru juga sebagai pengembang kurikulum di kelasnya. Selain itu,
perlu diperhatikan bahwa perombakan kurikulum hanya menyentuh satu standar
(standar isi) dari delapan standar nasional pendidikan.
Dengan kata lain, pembenahan kurikulum harus seiring dengan
pembenahan pada tujuh standar nasional pendidikan lainnya, yakni standar
kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana. Lalu, standar pengelolaan, standar pembiayaan
pendidikan, dan standar penilaian pendidikan.
Harus memperkuat
Kurikulum boleh saja berubah, tapi perlu evaluasi atas
implementasi kurikulum sebelumnya. Bisa jadi banyak hal baik dari kurikulum
sebelumnya yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan menjadi lebih baik. Jika
demikian halnya, substansi atau labeling mata pelajaran tertentu yang dianggap
baik itu tidak perlu diganti atau dibongkar. Hanya mata pelajaran tertentu yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman perlu direvitalisasi bahkan
dirombak.
Perubahan kurikulum selain merespons hasil evaluasi
terhadap implementasi kurikulum sebelumnya, juga perlu memperhatikan apa yang
diamanatkan berbagai regulasi yang berkaitan dengan kurikulum, seperti UU
Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, serta Peraturan Pemerintah
yang menjadi penjabaran dari berbagai undang-undang tersebut.
Perombakan kurikulum harus memperkuat tujuan pendidikan
nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Intinya, tujuan pendidikan nasional sebagaimana
amanat undang-undang ini ialah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis, juga bertanggung jawab.
Bahkan, Mendikbud juga harus memperjelas arah perubahan
kurikulum tersebut. Apakah pendidikan nasional hanya akan dibawa pada
pragmatisme dunia kerja semata? Jika itu yang dilakukan, pendidikan telah
tereduksi menjadi pelatihan semata. Padahal, pendidikan tidak boleh sekadar
dipahami sebagai proses pelatihan semata. Itu karena pendidikan pada hakikatnya
proses memanusiakan manusia untuk hidup dan berkembang menjadi insan yang
beriman, berbudi pekerti, cerdas, dan terampil.
Disinilah pendidikan bertautan dengan persoalan nilai,
moral, dan karakter. Dengan kata lain, pendidikan menempa seseorang bukan
sekadar terampil dalam bidang tertentu dengan mengoptimalkan seluruh potensi
kognisi, afeksi, dan psikomotorik, melainkan juga pendidikan terkait dengan
persoalan ESQ (emotional spiritual quotient) seseorang.
Kemudian, kurikulum pun terkait dengan persoalan link and
match. Apakah kurikulum hanya diarahkan agar peserta didik menjadi kaum pekerja
atau justru sebaliknya menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru. Perombakan
kurikulum pun mesti memperhatikan muatan lokal maupun kearifan lokal sebagai
wujud keberagaman potensi bangsa kita.
Itulah berbagai persoalan yang mesti dijawab dan
diperhatikan Mendikbud apabila ingin melakukan perombakan kurikulum. Perubahan
kurikulum merupakan suatu keniscayaan, tapi diperlukan kehati-hatian dan
kecermatan dalam melakukan perubahannya. Itu karena kurikulum memiliki peran
sentral dalam 'mencetak' generasi baru sekaligus sebagai trigger bagi peningkatan
kualitas pendidikan.
( https://mediaindonesia.com)
Cecep Darmawan Guru Besar dan Kepala Pusat
Kebijakan Publik LPPM Universitas Pendidikan Indonesia
Post a Comment for "Bongkar Pasang Kurikulum"