Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyesalkan
kebocoran data yang diduga berasal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan.
Dia mendukung Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) untuk mengusut tuntas kebocoran data peserta BPJS
Kesehatan. Sebab dia menilai ada kemungkinan didalamnya terdapat data aparatur
sipil negara (ASN).
"Kami
mendukung Kemkominfo untuk mengusut tuntas kejadian kebocoran data WNI ini.
Saya yakini data-data yang dimiliki ASN juga termasuk didalamnya," kata Tjahjo dalam
keterangan persnya, Jakarta,
Minggu (23/5).
Sebagai informasi, baru-baru ini terjadi kebocoran
data 279 juta penduduk. Data yang bocor terindikasi terkait nama, nomor
telepon, alamat, gaji, serta data kependudukan. Kemungkinan, data para ASN juga
termasuk dalam kebocoran data tersebut. Sebab, ASN, serta prajurit TNI-Polri juga
menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kemkominfo telah melakukan investigasi terhadap
dugaan kebocoran data ini sejak 20 Mei 2021. Isu ini berasal dari media sosial
yang menyebutkan data penduduk Indonesia bocor dan dijual ke forum peretas
online. Bahkan dari 279 juta data tersebut, 20 juta diantaranya disebut memuat
foto pribadi.
Mengatasi masalah ini, BPJS Kesehatan membentuk tim
khusus bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kemkominfo, serta Telkom
untuk melakukan penelusuran. Kemkominfo juga telah memanggil Direksi BPJS
Kesehatan untuk segera memastikan dan menguji ulang data pribadi yang bocor.
Dalam pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, tertulis bahwa penggunaan setiap informasi
melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan
atas persetujuan orang yang bersangkutan.
Dasar
tersebut kemudian diturunkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Pada
pasal 36 peraturan menteri tersebut, pihak yang menyebarluaskan data pribadi
dikenai sanksi berupa peringatan lisan, tertulis, penghentian kegiatan, atau
pengumuman di situs online.
Harus diakui, dasar hukum perlindungan data pribadi
WNI masih dalam rancangan undang-undang (RUU). Untuk itu Tjahjo meminta agar
DPR segera mengesahkan RUU tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan ketika
terjadi kebocoran data.
"Kementerian
PANRB mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi demi
terjaminnya data masyarakat, khususnya ASN yang dalam hal ini dirugikan atas
kebocoran data BPJS Kesehatan tersebut," ujar Menteri Tjahjo.
Menurutnya,
RUU ini penting karena selama ini secara nyata terlihat penegak hukum masih
kesulitan untuk menerapkan sanksi tegas yang sifatnya pidana kepada oknum yang
membocorkan data konsumen. Maka sangat perlu agar regulasi ini segera disahkan.
"Sehingga penting agar RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan dengan segera," kata dia. (sumber : https://m.merdeka.com)
1.Telemarketing
Data nomor telepon bisa
diperjualbelikan untuk kepentingan telemarketing. Maka tak heran jika tiba-tiba
pengguna ditelepon dan ditawarkan sebuah jasa atau produk.
Tiba-tiba orang yang menelepon
sudah mengetahui nama lengkap Anda meski Anda tak pernah berafiliasi dengan
perusahaan tersebut sama sekali.
SMS spam berbau penipuan mulai
penawaran berhadiah juga cukup menjengkelkan. Anda bisa menjadi 'korban'
telemarketing ketika data nomor ponsel Anda sudah tersebar.
2. Modal
Penipuan Phising Scamming
Pakar keamanan siber dari
Vaksin.com, Alfons Tanujaya juga mengingatkan bahaya scam dan
phising. Scam adalah tindakan penipuan dengan berusaha meyakinkan
pengguna, misal memberitahu pengguna jika mereka memenangkan hadiah tertentu
yang didapat jika memberikan sejumlah uang.
Sementara phising adalah teknik
penipuan yang memancing pengguna, misal untuk memberikan data pribadi mereka
tanpa mereka sadari dengan mengarahkan mereka ke situs Tokopedia palsu.
Sementara Analis media sosial
Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengingatkan bahaya serangan
rekayasa sosial, pertama-tama penjahat akan membuat profil korban terlebih
dahulu dengan mengandalkan data-data yang sudah diperoleh.
Lantas penjahat siber bisa
membuat skenario penipuan berdasarkan profil tersebut, untuk mencari celah agar
bisa menipu korban.
Salah satu contoh penipuan yang
paling sering terjadi adalah penipuan dengan modus penjahat mengaku sebagai
teman korban dan meminta sejumlah uang atau seperti kasus 'mama minta pulsa'
yang dulu sempat tren.
3. Bobol
layanan lain
Pakar keamanan siber dari
CISSRec, Pratama Persadha mengingatkan data nomor telepon dan sebagainya itu
bisa digunakan untuk membobol akun media sosial atau layanan lain. Sebagai
contoh untuk membobol layanan pembayaran digital seperti Gopay atau Ovo.
Pratama mengatakan caranya cukup mudah, pelaku tinggal
login dengan nomor telepon dan meminta kode one time password (OTP).
Selanjutnya pelaku bisa menelepon
korban dan mengaku sebagai pihak Tokopedia maupun platform lain yang digunakan
korban untuk meminta kode OTP itu.
"Cara ini sering berhasil
untuk mengambil alih akun GoPay para korban, cukup dengan mengetahui nomor
seluler yang terdaftar," kata Pratama.
4.
Bongkar kata kunci
Alfons mengatakan data tanggal
lahir dan email yang bocor juga bisa jadi modal peretas untuk mengambil
alih akun.
Sebab tanggal lahir sering
digunakan sebagai kata sandi. Oleh karena itu, Alfons menyarankan agar jangan
menggunakan tanggal lahir sebagai kata sandi.
Selain itu, ia menyarankan agar
mengaktifkan sistem pengamanan two factor authentication (TFA)
dengan menggunakan one time password (OTP) melalui SMS hingga USSD.
TFA melibatkan pihak ketiga yaitu operator untuk mengirimkan OTP yang digunakan
untuk otorisasi transaksi.
5. Bikin
akun pinjaman online diam-diam
Tak hanya itu, penjahat juga bisa
mengajukan peminjaman di aplikasi pinjaman online dengan bermodalkan data-data
yang sudah bocor. Pertama-tama peretas harus mampu mengumpulkan data KTP dari
data-data yang telah bocor.
Kemudian peretas bisa mengajukan
pinjaman untuk menarik sejumlah uang dari aplikasi pinjaman online yang kurang
baik sistem pemeriksaannya.
"Pada akhirnya nanti korban
adalah paling dirugikan karena datanya nanti akan disebar ke sejumlah orang dan
web sebagai orang dengan sejumlah utang," ujar Pratama.
6.
Profiling untuk target politik atau iklan di media sosial
Ismail mengatakan data-data
personal yang diambil bisa dipakai untuk rekayasa sosial hingga profiling
(membuat profil pengguna). Di sisi lain Pratama mengatakan apabila
91 juta akun tersebut diproses, maka big data itu bisa dianalisa
yang bermanfaat untuk profiling penduduk.
Misalnya berdasarkan umur dan
demografi penduduk berdasarkan lokasi, hobi, hingga jenis kelamin. Big
data tersebut bisa digunakan untuk sosialisasi politik maupun target iklan
di media sosial.
Hal ini serupa dengan yang
dilakukan Cambridge Analytica dengan data pengguna Facebook. Perusahaan itu
menggunakan profiling warga AS untuk menargetkan artikel tertentu kepada
pengguna. Artikel ini berisi penggiringan opini agar warga pada akhirnya
mendukung calon Presiden Donald Trump saat itu.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com
Post a Comment for "Menteri Tjahjo Khawatir 20 Juta Data PNS di BPJS Kesehatan Ikut Bocor"