Ada yang istimewa
dari Asesmen Nasional (AN) tahun ini. Pertama, AN dilakukan bukan untuk
mengevaluasi, melainkan sebatas mendapat informasi. Karena itu, pola soal yang
diberikan kepada siswa tergantung jawabannya. Jika langsung keliru di soal
pertama, maka soal selanjutnya secara otomatis akan menyesuaikan diri dengan
kemampuan siswa. Artinya, masing-masing siswa akan mendapat soal dengan
kesulitan yang berbeda.
Kedua, sebagai pemetaan informasi, AN tak lagi menghakimi.
Karena itu, jumlah peserta AN sangat terbatas dan diambil dari siswa di tingkat
tengah. Tujuannya, kiranya sekolah mendapat informasi sahih untuk kemudian
menjadi bahan refleksi bagi guru dalam melanjutkan pembelajaran sehingga siswa
lulus dari sekolah tersebut dengan kemampuan-minimal yang sudah seharusnya
dimilikinya.
Ketiga, bahwa yang ikut AN tidak hanya siswa, tetapi juga
guru, tepatnya pada bagian survei lingkungan belajar (https://surveilingkunganbelajar.kemdikbud.go.id/login)
Harapannya, pemerintah
bisa memetakan keberadaan lingkungan sekolah dengan tepat. Disebut tepat karena
isian survei yang diberikan diberi label rahasia. Dari pemetaan tersebut
kemudian akan dicari solusi untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Keliru
Namun, di tengah berbagai kelebihan AN, ada beberapa poin
yang menurut saya keliru dan seharusnya tidak terjadi. Hal itu mengingat AN
merupakan program nasional sehingga semestinya menjadi contoh bagi guru di
lapangan untuk lebih teliti dalam memberikan soal. Paling tidak, ada dua soal
yang menurut saya sangat keliru.
Pertama, ada studi kasus tentang seorang rekan guru yang tak
mau melakukan sumpah jabatan karena harus setia pada Pancasila dan UUD '45.
Pada studi kasus itu, guru diminta untuk memilih tindakan yang tepat.
Masalahnya, subjek dari pilihan-pilihan itu justru murid, bukan rekan-guru
tadi. Terkesan sekali panitia pembuat materi hanya bermodal salin-tempel.
Hal yang sama juga berlaku untuk soal lainnya: seseorang di
dalam tayangan televisi melakukan penghinaan terhadap lambang negara. Tetapi,
poin pilihan jawaban justru pada murid, bukan pada sosok di dalam tayangan
tersebut. Kesalahan yang kecil memang, namun elementer, bahkan memalukan.
Sebab, kesalahan serupa sudah cukup sering dibuat jadi meme untuk meledek guru
sebagai pembuat soal.
Contoh soal itu, misalnya: Andi membeli tiga buah apel dan
memberikan sebuah apel itu kepada adiknya. Tinggal berapakah anggur milik Andi?
Siswa yang menjawab soal itu pasti akan kebingungan karena
latar belakang soal adalah apel, tetapi yang jadi pertanyaan malah jadi anggur.
Sampai-sampai soal identik, yang saya curigai direproduksi ulang oleh orang tak
bertanggung jawab, dibuat semata untuk meledek guru. Tetapi, ternyata, panitia
pembuat soal dengan status sebagai skala nasional, bahkan menghabiskan biaya
negara yang tak sedikit, justru melakukan kesalahan yang lebih konyol dari guru.
Selain kekurangtelitian, ada beberapa hal pokok yang juga
justru luput, yaitu survei lingkungan secara fisik. Secara nonfisik, survei
tema lingkungan belajarnya memang sudah cukup beragam mulai dari toleransi
agama, toleransi ras, hingga toleransi gender.
Survei nonfisik lainnya juga sudah menyangkut tentang narkoba
dan pelecehan seksual. Kiranya dengan survei itu guru semakin profesional.
Sebab, secara implisit, dengan bentuk studi kasus, survei itu cukup membantu
dan mengarahkan guru dalam menyelesaikan masalah-masalah.
Namun, yang patut disurvei juga adalah lingkungan belajar
secara fisik. Sebab, hingga saat ini masih banyak sekolah yang ketinggalan
dalam pembangunan fisik. Survei lingkungan fisik ini sejatinya bisa dibuat
sebagai data pembanding pada laporan sekolah yang sebelumnya digunakan untuk
kepentingan akreditasi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah menukangi data
administratif untuk keperluan akreditasi sekolah. Dan, survei dari AN ini bisa
kian digunakan untuk menguji keabsahan data-data administratif tersebut.
Sebab, sekali lagi, lingkungan fisik sangat berpengaruh
terhadap kemajuan pendidikan. Karena itulah para praktisi pendidikan modern
selalu mendesain ruang belajar senyaman mungkin mulai dari segi pewarnaan ruang
kelas hingga penyediaan instrumen musik klasik. Hal itu dibuat karena
lingkungan fisik membantu keberhasilan pembelajaran. Bayangkan jika sebuah
sekolah belum punya kamar kecil!
Hal luput lainnya adalah survei lingkungan fisik dari segi
kelengkapan sarana. Barangkali pemerintah beranggapan bahwa sarana pembelajaran
sudah dilengkapi seiring kucuran dana BOS yang besar. Tetapi, fakta di lapangan
justru berseberangan.
Dalam sebuah liputan media pada 20 November 2020, ditunjukkan
bahwa siswa yang memiliki buku pelajaran justru tak sampai setengah (47,4
persen). Dari ruang kelas IV yang diamati, hampir sepertiganya tidak memiliki
bahan ajar minimum, seperti papan tulis dan buku catatan. Malah, ada
kesimpulan, lebih dari 40 persen sekolah mengalami kekurangan infrastruktur
minimum.
Langkah Lanjutan
Di luar hal-hal yang luput itu, kiranya juga ada langkah
lanjutan dalam mengeksekusi kebijakan, khususnya dari segi kepemimpinan kepala
sekolah. Sebab, pada survei melalui AN ini, para guru diberi kesempatan untuk
menilai kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelaborasikan visi-misi sekolah.
Sejauh ini, penilaian kinerja kepemimpinan kepala sekolah
jauh dari objektivitas. Guru seakan tak berhak untuk menilai sehingga kepala
sekolah fokus untuk berurusan dengan dinas. Pada survei lingkungan belajar kali
ini, guru diberi kesempatan untuk menilai kepemimpinan kepala sekolah
seobjektif mungkin dengan label rahasia.
Namun, supaya berdampak, hasil penilaian kepemimpinan kepala
sekolah ini sebaik-baiknya diberikan kepada pihak bersangkutan sebagai bahan
refleksi baginya. Sebab, bagaimana pun, tak bisa dimungkiri bahwa kepemimpinan
kepala sekolah sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pembelajaran di
lingkungan sekolah tersebut.
Memang, posisi kepala sekolah selama ini sangat dilematis,
bahkan politis. Sering kali mereka dinilai bukan lagi dari kinerjanya, melainkan
dari faktor like-dislike. Sudah seharusnya hasil AN kali ini dibuat lebih
aplikatif dan bukan sebatas survei semata.
Artinya, sebaiknya promosi dan mutasi kepala sekolah
dilakukan berdasarkan pada kinerjanya, yang salah satunya bisa dilihat dari hasil
AN. Dengan begitu, kita akan mendapatkan dampak besar dari AN secara holistik:
guru/kepala sekolah, lingkungan belajar, serta siswa.
Jika hal itu sudah berjalan, impian kita untuk mengatrol
kualitas pendidikan Indonesia tinggal menunggu waktu. Sebab, pada gilirannya,
kepemimpinan kepala sekolah akan semakin profesional untuk menyandingkan
ide-ide dari guru dan masyarakat setempat. Jika tidak, maka AN kali ini hanya
sebatas penambah pesimisme belaka.
Riduan Situmorang guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang
Hasundutan
Sumber: https://news.detik.com/
Post a Comment for "Evaluasi Survei Lingkungan Belajar"