3. Daftar Tanya Jawab Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
Apa yang menjadi pertimbangan
penyederhanaan RPP?
|
Guru-guru sering diarahkan untuk
menulis RPP dengan sangat rinci sehingga banyak menghabiskan waktu yang
seharusnya bisa lebih difokuskan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses
pembelajaran itu sendiri.
|
Apa yang dimaksud dengan prinsip
efisien, efektif dan berorientasi pada murid?
|
|
Apakah RPP dapat dibuat dengan singkat,
misalnya hanya satu halaman?
|
Bisa saja, asalkan sesuai dengan
prinsip efisien, efektif, dan berorientasi kepada murid. Tidak ada
persyaratan jumlah halaman.
|
Apakah ada standar baku untuk
format penulisan RPP?
|
Tidak ada. Guru bebas membuat,
memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai dengan prinsip efisien,
efektif, dan berorientasi pada murid.
|
Bagaimana dengan format RPP yang
sudah dibuat guru?
|
|
Berapa jumlah komponen dalam RPP?
|
|
4. Daftar Tanya Jawab Kebijakan Zonasi
Tahun Ajaran 2020/2021
Perubahan
Aturan
Apa perubahan yang paling nyata
dari peraturan yang baru?
|
Dalam Permendikbud terbaru terkait
PPDB, Pemerintah Pusat memberikan fleksibilitas daerah dalam menentukan
alokasi untuk siswa masuk ke Sekolah melalui jalur zonasi, jalur afirmasi,
jalur perpindahan orangtua/wali, atau jalur lainnya (dapat berupa jalur prestasi).
Persentasenya pun berubah menjadi sebagai berikut:
Aturan PPDB ini dirancang agar daerah bisa menyesuaikan aturan berdasarkan karakteristik dan kebutuhannya. Itulah mengapa jalur zonasi dan afirmasi ini secara eksplisit disebutkan proporsi minimal untuk memudahkan daerah dengan tetap dan atau menambah persentase jalur prestasi tersebut jika dibutuhkan. Setelah menentukan kuota jalur Zonasi, kuota jalur afirmasi, dan seterusnya, daerah secara transparan harus menjelaskan ketentuan PPDB masing-masing kepada masyarakat, terutama pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ketentuan ini. Pemerintah Daerah juga sebaiknya menjelaskan kepada publik latar belakang penetapan proporsi dari masing-masing jalur tersebut, sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Dinas Pendidikan juga diminta untuk melaporkan ketentuan yang dibuat serta pelaksanaan PPDB kepada Kemendikbud, agar bisa dilakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan Permendikbud. |
|||||||
Mengapa perlu
perubahanPermendikbud terkait PPDB?
|
Perubahan ini dilakukan setelah
mempelajari beragam implementasi PPDB pada tahun-tahun sebelumnya di tingkat
Pemerintah daerah. Meskipun Permendikbud PPDB yang terdahulu (Permendikbud No
51 Tahun 2018 dan Permendikbud No 20 Tahun 2019) telah menetapkan secara
tegas terkait persentase tiap jalur, namun dalam penerapannya Pemerintah
Daerah membuat ketentuan PPDB utamanya pada jalur zonasi dengan mekanisme
yang berbeda-beda, bahkan tidak sesuai dengan persentase minimal pada
ketentuan PPDB sebelumnya. Hal ini mengindikasikan perlunya tinjauan ulang
dalam membuat ketentuan yang agar dapat diterapkan daerah sesuai dengan
kebutuhannya, dengan catatan daerah terus meningkatkan akses dan mutu
pendidikan agar seluruh anak dapat belajar di sekolah yang bermutu.
|
|||||||
Bagaimana dengan daerah yang sudah
menerapkan ketentuan Jalur Zonasi sebesar 80% sesuai dengan Permendikbud
PPDB sebelumnya (Permendikbud No 51 Tahun 2018, Permendikbud No 20 Tahun
2019)?
|
Permendikbud PPDB yang baru ini
tidak akan membuat ketentuan daerah yang sudah menerapkan jalur zonasi
sebanyak 80% dengan tertib menjadi sia-sia. Pemerintah Pusat memberikan batas
minimal 50% untuk setiap jalur penerimaan peserta didik baru, yang artinya Daerah
yang sudah menerapkan jalur zonasi sebanyak 80%, selanjutnya tinggal
mengimplementasikan jalur lainnya sesuai dengan ketentuan Permendikbud
terbaru tersebut.
Contoh penetapan jalur yang benar dan yang salah:
|
|||||||
Jika yang bermasalah dalam
mengatur PPDB adalah Pemerintah Daerah, mengapa Pemerintah Pusat perlu
mengganti aturan?
|
Pemerintah Pusat tidak bisa
menyeragamkan pengelolaan PPDB ini. Fungsi Pemerintah Pusat dalam hal ini
adalah sebagai fasilitator, bukan sebagai regulator yang tidak memperhatikan
kondisi dan kebutuhan di daerah. Pemerintah Pusat memfasilitasi
Daerah untuk mengelola sistem pendidikan agar setiap anak di daerah tersebut
dapat mengakses pendidikan bermutu, dan sistemnya lebih berkeadilan sosial.
Dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah, ditemukan bahwa Pemerintah
Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang
mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di Sekolah, sehingga
dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan
persentase yang cukup besar. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat sangat
mengapresiasi Pemerintah Daerah yang telah mampu menghitung dan memenuhi daya
tampung serta mutu yang baik merata di seluruh Sekolah. Oleh karena itu
Pemerintah Pusat memberikan aturan yang lebih fleksibel kali ini, sembari
mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pemetaan dengan data yang tepat,
meningkatkan akses melalui daya tampung Sekolah yang mencukupi, dan
meningkatkan mutu pendidikan di setiap Sekolah agar kualitas pendidikan yang
tinggi dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia.
|
|||||||
Mengapa Pemerintah Pusat
menyarankan pelibatan sekolah swasta?
|
Data yang dikeluarkan Pusat Data
dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah
sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA, bahkan lebih
dari 60% SMA adalah sekolah swasta. Membangun sekolah negeri baru untuk
meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan
dalam waktu dekat. Setiap tahunnya, siswa yang lulus dan siap masuk SMA, tanpa
menunggu proses pembangunan gedung sekolah. Rencana menambah jumlah sekolah
negeri adalah rencana yang baik dan patut dilakukan pemerintah daerah. Namun
selama ini sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang berbiaya rendah
juga sangat berperan dalam membuka akses pendidikan, sehingga kemitraan
dengan Dinas Pendidikan akan menjadi solusi yang baik bagi kedua belah pihak.
Dalam upaya pelibatan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah Daerah sebaiknya mempertimbangkan kualitas layanan di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, sebelum Pemerintah Daerah melibatkan sekolah tersebut dalam skema PPBD. |
|||||||
Apa yang diharapkan Pemerintah
Pusat dari Pemerintah Daerah, terkait dengan PPBD dan akses pendidikan?
|
Dalam pelaksanaan PPDB melalui
Jalur Zonasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya, data menunjukkan bahwa
jumlah daya tampung Sekolah Negeri tidak cukup untuk menerima seluruh siswa
yang mendaftar pada Sekolah jenjang berikutnya melalui PPDB. Hal ini mendorong
daerah memberikan intervensi dalam pemenuhan layanan pendidikan di daerahnya,
karena pada dasarnya Pendidikan adalah Layanan Dasar sebagaimana ketentuan
dalam UU Pemerintahan Daerah.
Memenuhi hak akses pendidikan perlu menjadi prioritas, namun perlu disadari bahwa membangun Unit Sekolah Negeri Baru memerlukan langkah yang cukup panjang dengan membutuhkan pembebasan lahan, durasi pembangunan yang lama, dan adanya keterbatasan anggaran negara. Sekolah Swasta dapat menjadi alternatif dalam pemenuhan daya tampung, juga sebagai bentuk kolaborasi antara Pemerintah dengan masyarakat. Kolaborasi ini dapat diupayakan sembari pemenuhan pendidikan utamanya bagi yang tidak mampu dipenuhi oleh Pemerintah Daerah, dapat berupa subsidi biaya, bantuan operasional, maupun mekanisme lainnya. |
|||||||
Mengapa tidak menyerahkan
sepenuhnya saja kepada Daerah untuk mengelola PPDB?
|
PPDB jalur Zonasi yang diatur
dalam Permendikbud yang baru bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan
yang berkualitas tanpa diskriminasi. Selain itu, pendidikan yang bermutu
adalah hak setiap anak Indonesia yang harus dipenuhi Pemerintah. Artinya,
kualitas pendidikan harus merata. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa
tujuan ini dapat dicapai, Pemerintah Pusat mengatur beberapa aturan dan
batasan, yaitu dengan adanya jalur zonasi dan jalur afirmasi yang memiliki
batasan minimal serta jalur perpindahan orang tua yang memiliki batasan
maksimal untuk setiap jalur penerimaan peserta didik, dan apabila masih ada
sisa dapat digunakan untuk jalur prestasi.
|
|||||||
Mengapa PemerintahDaerah
perlu melaporkan aturan dan hasil PelaksanaanPPDB kepadaPemerintah Pusat?
|
Pelaksanaan PPDB yang dilakukan
Pemerintah Daerah penting untuk dilaporkan kepada Pemerintah Pusat, hal ini
dikarenakan segala kebijakan PPDB yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah
adalah data bagi Pemerintah Pusat untuk memahami mekanisme pemenuhan akses
pendidikan di daerah, dengan tantangan yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik daerah masing-masing. Melalui PPDB ini pun dapat dipetakan data
pemenuhan akses anak terhadap pendidikan. Hal ini juga memudahkan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan keputusan ketika menghadapi
tantangan yang ada di sekolah sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
|
|||||||
Terkait dengan pengumuman kebijakan
PPDB, apakah informasi ini perlu disampaikan juga kepada warga masyarakat
walaupun mereka tidak berkepentingan secara langsung dengan penerimaan siswa
baru?
|
Ya, pendidikan adalah tanggung
jawab bersama, dan perlu menjadi perhatian seluruh warga masyarakat, tidak
hanya orangtua yang mendaftarkan anaknya sekolah saja. Kepedulian masyarakat
dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemerataan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
|
Proporsi
Jalur PPDB
Mengapa menggunakan batas minimum untuk jalur zonasi
dan jalur afirmasi?
|
PPDB adalah suatu proses yang
sangat perlu memperhatikan konteks lokal, misalnya berapa banyak sekolah
negeri di suatu wilayah, berapa banyak anak usia SD yang akan melanjut ke
SMP, serta dari SMP ke SMA, berapa banyak anak penerima Kartu Indonesia Pintar
(KIP) di daerah tersebut, berapa banyak yang kondisi ruang kelasnya rusak,
dan sebagainya. Akan lebih efisien, sesuai konteks, dan tepat sasaran apabila
masing-masing Daerah yang mengatur regulasi PPDB yang disesuaikan dengan
karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah. Hal ini juga selaras dengan
semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat memberikan Norma, Standar, Pedoman,
dan Kriteria sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai rambu-rambu yang
digunakan oleh Pemerintah Daerah.
|
Apa yang dimaksud dengan jalur
afirmasi?
|
Jalur afirmasi disediakan untuk
siswa yang menerima program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah (misalnya penerima KIP). Jalur ini merupakan
komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan layanan
akses pendidikan berkualitas untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Pemerintah Daerah dapat menentukan proporsi siswa yang diterima melalui jalur
ini dengan mengacu pada persentase siswa yang menerima program penanganan keluarga
tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah di daerah tersebut.
|
Jika ada calon peserta didik
penerima KIP namun secara domisili peserta didik yang bersangkutan juga bisa
masuk melalui jalur zonasi, jalur mana yang akan diikutinya?
|
Jalur afirmasi, jika kuota
afirmasi belum terpenuhi untuk sekolah tersebut. Hal ini dilakukan agar siswa
dalam zona yang tidak menerima program penanganan keluarga tidak mampu dari
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tidak terhalangi untuk masuk ke sekolah
tersebut. Dengan demikian, kesempatan yang diberikan pemerintah pada siswa
dari keluarga tidak mampu sedapat mungkin tidak merugikan siswa dari kelas
sosial lainnya.
|
Persentase minimum untuk jalur
zonasi hanya 50%, ini lebih kecil daripada proporsi di Permendikbud Nomor 51
Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah
Menengah Kejuruan sebagaimana diubah dengan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51
Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah
Menengah Kejuruan.
Apa pertimbangan Pemerintah Pusat tentang hal ini? |
Ada dua alasan utama terkait hal
ini. Pertama, Pemerintah Pusat mendengar beberapa masukan dari Pemerintah
Daerah untuk mencapai jalur zonasi dengan batas minimum 80% mengalami
kesulitan. Karena khawatir tidak mencapai angka tersebut, satuan zona
diperbesar. Bahkan wilayah satu kota menjadi satu zona, tidak dibagi menjadi
beberapa zona karena khawatir ada sekolah yang tidak mendapatkan siswa. Jika
satu zona sudah sebesar wilayah administrasi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
maka esensi dari PPDB melalui jalur zonasi ini menjadi tidak jelas. Dengan
adanya aturan yang tidak seketat dahulu, diharapkan Daerah lebih optimis
bahwa tujuan PPDB melalui jalur zonasi ini dapat diwujudkan.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah kondisi sekolah di Indonesia yang masih belum merata kualitasnya. Demikian pula penyebaran guru yang berkualitas tinggi juga masih belum merata. Menurut data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang rusak dibandingkan yang baik. Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai upaya untuk mengatasi tentang masalah ini, begitu juga dengan akses pendidikan yang semakin sulit dicapai anak-anak miskin di jenjang yang lebih tinggi. Namun demikian, Pemerintah Daerah pasti perlu waktu untuk memperbaiki kondisi ruang kelas dan pendistribusian guru berkualitas, disisi lain siswa lulus dari sekolah setiap tahun tanpa henti, tidak bisa menunggu ruang kelas direnovasi atau guru berkualitas dirotasi. Maka jangan sampai kebijakan untuk pemerataan pendidikan mengorbankan anak. |
Apakah penurunan % siswa yang
masuk melalui sistem zonasi ini menandakan bahwa Pemerintah kurang
berpihak pada anak-anak miskin yang biasanya hanya jadi “penonton” sekolah
“favorit” di lingkungannya?
|
Pemerintah terus berkomitmen pada
pemerataan kualitas pendidikan, namun jangan sampai kebijakan tersebut mengorbankan
anak. Asumsi bahwa dengan dibatasi wilayah maka anak miskin dapat mengakses
pendidikan berkualitas juga belum tentu berlaku di semua wilayah. Tidak
mustahil dengan adanya zonasi yang ketat anak-anak dari keluarga miskin yang
berpotensi tinggi justru “terjebak” untuk masuk sekolah yang ada di dekat
rumahnya, yang sebenarnya kualitasnya kurang baik. Namun ini semua masih
berlandaskan asumsi, kita perlu data empiris dan analisis yang lebih
sistematis untuk memastikan bahwa aturan PPDB tidak merugikan kelompok
tertentu.
Kedua, secara eksplisit ada jalur afirmasi yang disyaratkan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini menunjukkan komitmen pada pemerataan kesempatan pendidikan untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. |
Apakah penurunan % zonasi ini
menandakan bahwa “sekolah favorit” akan dipertahankan?
|
Tidak, pertimbangan tentang batas
minimum jalur zonasi dan jalur afirmasi tidak ada hubungannya dengan
favoritisme. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, kita tidak bisa benar-benar
mengatakan bahwa ada sekolah unggulan karena yang unggul adalah input
siswanya. Mereka sudah tersaring ketat, sehingga di suatu sekolah yang
mendapat label “unggulan” atau “favorit” ini siswanya cenderung homogen,
yaitu mayoritas siswa dengan capaian akademik yang tinggi. Karena umumnya
mereka dari keluarga kelas menengah sampai dengan kelas atas, dukungan
belajar di luar sekolah untuk anak-anak ini juga lebih baik, misalnya ikut
Bimbingan Belajar, kursus bahasa asing, dan sebagainya. Sehingga output dari
sekolah itu pun menjadi unggulan. Kita ingin semua sekolah unggul, sama
baiknya. Setiap anak mendapat kesempatan belajar di ruang kelas yang baik
kondisinya dan diajar oleh guru yang kompeten. Sebelum kebijakan zonasi
diterapkan, hanya siswa tertentu saja yang berkesempatan demikian.
Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, tidak boleh membuat aturan yang
mendiskriminasi kelompok tertentu.
|
Mengapa jalur prestasi disediakan
maksimal 30% saja?
|
Kembali ke tujuan besar dari PPDB
adalah untuk pemerataan kesempatan pendidikan, di mana akses terbuka untuk
semua anak, maka jalur prestasi yang terlalu besar bisa menjauhkan kita dari
tujuan tersebut. Daerah tidak harus membuka jalur ini, karena mungkin akses
sekolah sudah sangat besar dari segi suplai, maka semua anak dalam zona sudah
bisa tertampung.
|
Satuan
wilayah zonasi
Apakah ada perubahan peraturan
terkait penghitungan satuan wilayah zonasi?
|
Pemerintah Daerah perlu menetapkan
satuan wilayah zonasi, seberapa luasnya serta berapa banyak wilayah zonasi
yang ada di wilayah administrasinya. Hal ini dilakukan dengan cara memetakan
jumlah dan domisili calon peserta didik baru, daya tampung sekolah, dan
jumlah sekolah yang diselenggarakan masyarakat yang akan disertakan dan
sekolah yang berbasis agama. Data ini seharusnya ada di tingkat daerah.
|
Ada kasus di mana anak tinggal di
wilayah perbatasan, harus masuk ke sekolah yang lebih jauh karena masuk dalam
zonanya. Padahal lebih dekat jika bersekolah di zona yang berbeda. Kasus ini
sudah ada jalan keluarnya?
|
Ini adalah hal yang perlu
diperhitungkan Pemerintah Daerah ketika membuat zona. Harusnya kasus seperti
ini tidak banyak, karena jika banyak artinya metode penetapan zonanya keliru.
Oleh karena tidak banyak, hal-hal seperti ini seharusnya bisa diselesaikan
Pemerintah Daerah, melalui musyawarah yang hasilnya demi kebaikan anak.
|
Dampak
PPDB saat ini
Sistem PPDB saat ini menyebabkan
guru kesulitan mengajar karena capaian akademik siswanya terlalu beragam.
Sebaiknya apa yang dilakukan sekolah?
|
Ketika PPDB berlandaskan pada
hasil tes, sekolah memang lebih homogen. Menjadi tidak adil ketika terdapat
sekolah homogen yang mayoritas siswanya siap belajar dan orangtua mereka siap
untuk mendukung anak belajar, sementara di sekolah lainnya berkumpul siswa
dengan kondisi yang sebaliknya.
Guru yang efektif adalah guru yang mampu menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dalam mengajar anak-anak dengan kemampuan yang berbeda-beda. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas guru-guru dalam menggunakan pendekatan yang beragam (differentiated instruction). Mendidik semua anak tanpa diskriminasi adalah tugas setiap satuan pendidikan. Prinsip ini berlaku untuk semua, pemerintah pusat, daerah, sekolah dan juga guru. |
PPDB melahirkan kecurangan baru,
yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah
unggulan. Bagaimana jalan keluarnya?
|
Dengan aturan yang lebih
fleksibel, diharapkan praktik seperti ini tidak lagi terjadi karena tidak ada
lagi anak yang tidak mendapatkan sekolah.
Harapan orangtua dan anak untuk bisa masuk sekolah tertentu terjadi ketika kualitas pendidikan tidak merata. Maka dengan perubahan sistem PPDB ini, pemerataan kualitas belajar di seluruh sekolah menjadi prioritas pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Maka dalam jangka menengah dan jangka panjang, harapannya tidak ada lagi orangtua yang menggunakan cara yang melanggar aturan dalam mendaftarkan anaknya karena kualitas sekolah sama baiknya. |
Dan ada juga praktik “jual-beli
bangku” di sekolah favorit, bagaimana mengatasinya?
|
Praktik ini sebenarnya sudah lama
sering terjadi, bukan ketika diterapkan aturan zonasi saja. Hal ini merupakan
masalah korupsi di sekolah secara umum. Praktik ini sudah ada baik ketika
PPDB sepenuhnya jalur seleksi (sebelum ada aturan zonasi) maupun saat
diterapkannya zonasi. Kita perlu kebijakan lain terkait penanggulangan
korupsi untuk menghentikan praktik-praktik ini.
|
Jalur Zonasi tidak boleh
menggunakan nilai Ujian Nasional. Tidakkah ini bertentangan dengan Pasal 68
huruf b PP SNP yang menyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan untuk
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya?
|
Dari empat jalur PPDB, salah
satunya adalah jalur prestasi. Untuk jalur ini kriteria seleksi dapat
menggunakan nilai Ujian Nasional. Sehingga tidak ada yang bertentangan dengan
PP tersebut.
|
0 komentar:
Post a Comment