Forum Wartawan Pendidikan dan
Kebudayaan (Fortadikbud) mencatat beberapa temuan selama satu tahun
pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19. Temuan itu
dihimpun melalui diskusi dengan menghadirkan beberapa narasumber yang
berkompeten di dunia mengajar dari wilayah Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Jawa
Barat, secara daring dan luring, di Bogor, (17/04). Selain itu, hadir pula
narasumber dari kalangan pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dalam diskusi tersebut.
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan
Masyarakat (BKHM) Kemendikbud, Hendarman, menilai bebagai temuan dan pandangan
dalam dalam diskusi ini merupakan masukan yang penting sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat keputusan sehubungan dengan persiapan pembelajaran
tatap muka (PTM).
"Saya mengapresiasi terserselenggaranya diskusi ini dan
penghargaan kepada narasumber yang telah menyampaikan pandangan-pandanganya
untuk memajukan pendidikan di Indonesia," kata Hendarman pada diskusi yang
bertajuk “Bersiap Menghadapi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas” tersebut.
Temuan atau dampak dari PJJ tersebut, antara lain adalah
banyaknya anak didik yang tidak bisa menyerap mata pelajaran dengan baik.
Dikarenakan belum terbiasa mengikuti pembelajaran daring menggunakan aplikasi
Zoom.
Merujuk pada hasil diskusi dengan beberapa narasumber,
kesuksesan PJJ sangat ditentukan oleh dukungan orang tua terhadap anaknya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor,
Hanafi, yang merasakan kondisi ini pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA.
Menurutnya, banyak dari siswa yang menggunakan waktu belajar untuk bermalas
malasan dan enggan mengerjakan tugas dari guru.
“Ini disebabkan lemahnya pengawasan dari orang tua terhadap
anaknya yang harus belajar di tengah kedaruratan,” imbuhnya.
Selain faktor kemalasan, ada masalah teknis lain yang
menyebabkan anak kesulitan mengikuti PJJ. Bantuan kuota pulsa yang diberikan
Kemendikbud dianggap belum maksimal menutup permasalahan dalam PJJ.
Sebab, banyak anak didik di daerah terluar dan tertinggal yang tidak punya HP,
sinyal untuk mengakses internet juga sulit, kalau pun ada sinyal putus
nyambung. “Sehingga dana untuk membeli pulsa cukup besar yang dikeluarkan oleh
Kemendikbud menjadi sia-sia,” ujar Hanafi.
Temuan lainnya yaitu hubungan batin antara anak didik dengan
guru menjadi dingin karena mereka tidak pernah saling sapa dan bertatap muka
selama satu tahun. Peserta didik baru yang duduk di kelas 1 baik jenjang SD,
SMP dan SMA-lah yang paling merasakan. Di mana mereka satu tahun tercatat
sebagai siswa, tapi tidak tahu siapa guru dan teman mereka di sekolah yang baru
tersebut.
Angka putus sekolah (APS) juga terjadi sebagai dampak
pembelajaran jarak PJJ saat pandemi Covid-19. Pernyataan tersebut diungkapkan
Pelaksana tugas (Plt.) Direktur SMA, Kemendikbud, Purwadi Sutanto, pada diskusi
tersebut.
Menurut Purwadi, salah satu kasus APS terjadi pada siswa SMA
di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada kasus tersebut anak memutuskan menikah dini.
“Karena keterbatasan sarana telekomunikasi pendukung PJJ, siswa putus sekolah
dan kemudian menikah dini,” kata Purwadi secara virtual.
Ia menyebut, penanganan kasus APS pada anak menjadi tugas
bersama. Karena masalah pendidikan, menurutnya, bukan saja tugas pemerintah,
melainkan menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
“Ini kenapa surat keputusan bersama (SKB) empat menteri
tentang pembelajaran di tengah pandemi keluar. Karena kita ingin segera PTM
terbatas diterapkan. Sudah banyak anak dan guru mengeluhkan stres karena PJJ,”
katanya.
Lebih jauh dia mengatakan, pelaksanaan PTM harus mendapat
dukungan dari kementerian dan stakeholder terkait. Seperti Kementerian
Perhubungan dan Kementerian Kesehatan terkait layanan kesehatan dan
transportasi di tingkat pemerintah daerah.
Dari berbagai temuan tersebut, Purwadi menyimpulkan besarnya
keinginan dari anak didik, orang tua dan pendidik agar PTM dapat segera
dilakukan. Tentunya dengan tetap berpedoman dan menjalankan protokol kesehatan.
Bila tidak, PJJ dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar terhadap anak didik.
Hasil Survei
Di sisi lain, Rizal menuturkan, GSM melakukan survei
pelaksanaan PJJ selama pandemi. Survei ini 94 persen dilakukan di sekolah
jejaring GSM. Hasilnya, 20 persen menyatakan senang sedangkan 80 persen tidak
senang. Survei menunjukkan bahwa siswa senang melakukan PJJ karena belajarnya
santai (23 persen), waktunya fleksibel (11 persen) dan skill internet yang naik
(10-15 persen).
Sementara siswa yang menjawab tidak senang PJJ itu karena
bosan (20-26 persen), rindu ketemu dan bermain dengan teman (40 persen), kurang
paham instruksinya (19 persen), kendala internet (13-14 persen) dan susah
konsentrasi (14-15 persen).
Yang menarik dari hasil survei ini, terang Rizal, adalah
siswa lebih senang dengan metode pembelajaran PJJ berbasis project atau problem
based learning dibandingkan hanya sekadar membahas materi dari LKS. Hal ini
menunjukkan bahwa peserta didik menginginkan pola pembelajaran yang berbeda.
"Kebutuhan diferensiasi pembelajaran, kebutuhan setiap
anak diberi ruang untuk belajar berdasarkan pola, kebutuhan dan talenta
sendiri. Problem based dan project based ini sepertinya bisa mewakili
itu," pungkasnya. *(Denty A./Aline R.)
Sumber : kemdikbud.go.id
Post a Comment for "Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat"