Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, menetapkan empat program pokok kebijakan
pendidikan “Merdeka Belajar”. Program tersebut meliputi Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dibawah ini adalah Daftar Tanya Jawab Kebijakan Mengenai Empat Pokok Pikiran MERDEKA BELAJAR :
1.Kebijakan Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (USBN)
2.Kebijakan
Ujian Nasional (UN)
3.Kebijakan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
4.Kebijakan
Zonasi Tahun Ajaran 2020/2021
1. Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
Mengapa pemerintah mengganti USBN?
|
USBN dikembalikan pada esensinya,
yaitu asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Kelulusan
siswa pada akhir jenjang memang merupakan wewenang sekolah yang didasarkan
pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip
pendidikan bahwa yang paling memahami siswa adalah guru.
Selain itu, asesmen akhir jenjang oleh sekolah memungkinkan penilaian yang
lebih komprehensif, yang tidak hanya didasarkan pada tes tertulis pada akhir
tahun. Hal ini juga mendorong sekolah untuk mengintensifkan dan memperluas
pelibatan guru dalam semua tingkat dalam proses asesmen.
|
Apa ganti USBN?
|
Gantinya adalah ujian yang
dikelola tiap-tiap sekolah. Ujian tersebut dapat dilaksanakan dalam beragam
bentuk asesmen sesuai dengan kompetensi yang diukur.
|
Seperti apa pelaksanaan ujian
sekolah pengganti USBN?
|
Dari sisi bentuk ujian,
guru boleh dan diharapkan menggunakan beragam bentuk asesmen. Hal ini bisa
berupa tes tertulis seperti saat ini. Namun guru juga disarankan menggunakan
asesmen bentuk lain seperti penugasan, portofolio siswa, dan project kolaboratif.
Dari sisi waktu pelaksanaan, asesmen yang menjadi bagian
dari ujian ini tidak selalu harus dilakukan di penghujung tahun ajaran
sebagaimana ujian konvensional selama ini. Misalnya, nilai ujian akhir
jenjang bisa didasarkan pada penilaian portofolio dan penugasan yang
dilakukan sejak semester ganjil.
Kedua perubahan ini memungkinkan kompetensi siswa dinilai secara lebih
komprehensif. Perubahan ini juga memungkinkan penilaian yang lebih
terdiferensiasi, sesuai dengan kebutuhan individual siswa.
|
Bagaimana jika guru merasa kurang
siap melakukan penilaian akhir jenjang?
|
USBN memposisikan sebagian besar
guru sebagai penerima dan pengguna tes yang dikembangkan oleh pemerintah
pusat dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di bawah koordinasi dinas
pendidikan daerah. Semua siswa dan semua sekolah dalam satu daerah terikat
untuk menggunakan bentuk ujian sama.
Hal ini menghambat kemerdekaan guru untuk belajar melakukan asesmen. Dengan
mengembalikan kewenangan penilaian akhir jenjang pada sekolah, guru didorong
untuk mulai dan secara terus menerus mengembangkan kapasitas profesionalnya
terkait asesmen.
Selain itu, membuat soal tes tertulis yang bermutu memang tidak mudah. Kabar
baiknya, penilaian akhir jenjang tidak harus mengandalkan tes tertulis. Guru
bisa menggunakan beragam bentuk asesmen yang sesuai dengan kompetensi yang
diukur, termasuk bentuk asesmen yang lebih dikenal oleh masing-masing guru.
|
Apa peran yang diharapkan dari
dinas pendidikan?
|
Dinas Pendidikan tidak lagi
mengkoordinasi atau memfasilitasi penyelenggaraan ujian yang seragam. Peran
Dinas diharapkan bergeser ke arah pengembangan kapasitas guru dan sekolah
guna meningkatkan mutu pembelajaran.
|
Apa konsekuensi kebijakan baru ini
pada guru?
|
Guru menjadi lebih merdeka dalam
mengajar dan melakukan asesmen siswa. Guru dapat melakukan asesmen yang lebih
sesuai untuk kebutuhan siswa dan situasi kelas/sekolahnya. Hal ini juga
mendorong guru untuk terus mengembangkan kompetensi profesionalnya, terutama
terkait asesmen siswa.
|
Apa konsekuensi kebijakan baru ini
bagi sekolah?
|
Sekolah perlu mendukung praktik
asesmen yang baik, yakni asesmen yang berdampak positif pada proses dan hasil
belajar siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi guru untuk
berkolaborasi mengenai strategi asesmen yang tepat bagi siswa dan kondisi sekolah
masing-masing.
|
Apa konsekuensi kebijakan baru ini
bagi siswa?
|
Tekanan psikologis bagi siswa akan
berkurang karena asesmen dapat dilakukan secara lebih komprehensif, tidak
hanya pada waktu spesifik di akhir tahun ajaran seperti praktik selama ini.
Siswa bisa memiliki lebih banyak kesempatan, dan melalui lebih banyak cara,
untuk menunjukkan kompetensinya.
|
2. Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian
Nasional (UN)
Apa kebijakan baru tentang UN?
|
Mulai tahun 2021 UN akan diganti
dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kedua asesmen baru ini
dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan secara
nasional.
|
Mengapa 2020 akan menjadi tahun
terakhir bagi UN?
|
Pertama, UN lebih banyak berisi
butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat rendah. Hal ini tidak
sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi serta kompetensi lain yang lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana
tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan. Ketiga, UN kurang optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Karena dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberi bantuan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. |
Apa akan mengganti UN?
|
Asesmen kompetensi pengganti UN
mengukur kompetensi bernalar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
di berbagai konteks, baik personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini
kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun contohnya adalah
kompetensi bernalar tentang teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini mencakup aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying, dan kualitas pembelajaran). Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa. |
Tanpa UN, bukankah siswa kurang
termotivasi untuk belajar?
|
Menggunakan ancaman ujian untuk
mendorong belajar akan berdampak negatif pada karakter siswa. Jika dilakukan
terus menerus, siswa justru akan menjadi malas belajar jika tidak ada ujian.
Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa belajar sekedar untuk mendapat nilai
baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini membuat siswa lupa akan kenikmatan
intrinsik yang bisa diperoleh dari proses belajar itu sendiri. Padahal,
motivasi belajar intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan agar
siswa agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
|
Tanpa UN, apakah siswa tidak
menjadi orang yang kurang gigih?
|
UN adalah alat untuk melakukan
monitoring dan evaluasi mutu sistem pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih
keuletan atau kegigihan. Sifat-sifat ini tidak dapat dibentuk secara instan
di akhir jenjang pendidikan melalui ancaman ketidaklulusan atau nilai buruk.
Sifat seperti kegigihan hanya dapat ditumbuhkan melalui proses belajar yang
memberi berbagai tantangan bermakna secara berkelanjutan. Butuh waktu
bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat seperti kegigihan menjadi bagian dari
karakter siswa.
|
Mengapa hanya difokuskan pada
literasi dan numerasi?
|
Literasi dan numerasi adalah
kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang,
dan dengan, bahasa serta matematika diperlukan dalam berbagai konteks, baik
personal, sosial, maupun profesional. Dengan mengukur kompetensi yang
bersifat mendasar (bukan konten kurikulum atau pelajaran), pesan yang ingin
disampaikan adalah bahwa guru diharapkan berinovasi mengembangkan kompetensi
siswa melalui berbagai pelajaran melalui pengajaran yang berpusat pada siswa.
|
Apakah berarti pelajaran selain
bahasa dan matematika tidak penting?
|
Fokus asesmen adalah kompetensi
berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar mencerminkan prestasi
akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan
numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui berbagai mata
pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dst. Pesan ini
penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko
penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
|
Jika apa yang diukur tidak terikat
pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara asesmen ini dengan standar
pendidikan?
|
Betul bahwa asesmen ini tidak
terikat secara erat dengan konten kurikulum. Namun tidak berarti bahwa
asesmen ini sama sekali terlepas dari kurikulum. Dari sisi konten, asesmen
literasi dan numerasi tentu memperhatikan apa yang (seharusnya) diajarkan
oelh guru pada tiap kelas dan jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen ini
tidak dimaksudkan untuk mengukur penguasaan siswa atas konten kurikulum
secara keseluruhan.
Pada prinsipnya, penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh guru menggunakan sumber informasi yang beragam dari interaksi sehari-hari dengan siswa. Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda karena masing-masing memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan karakteristik siswanya. |
Siapa yang akan menjadi peserta
asesmen pengganti UN?
|
Asesmen kompetensi baru akan
dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas
4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA. Dengan dilakukan pada
tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi
kebutuhan belajar siswa. Dengan dilakukan sejak jenjang SD, hasilnya dapat
menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu pendidikan nasional.
|
Apakah perubahan ini berdampak
pada siswa SD?
|
Perlu diketahui bahwa saat ini pun
tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian, penghentian UN tidak berdampak
pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada poin sebelumnya, sebagian siswa
SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru. Namun asesmen baru ini dirancang
agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa. Karena itu, asesmen baru tidak
menjadi beban tambahan bagi siswa SD.
|
Tanpa UN, bagaimana mengukur
ketercapaian standar nasional pendidikan?
|
Perlu dipahami bahwa UN itu
sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen asesmen yang membantu
menilai pencapaian sebagian standar nasional pendidikan. Karena itu,
menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar pendidikan.
Sebagaimana disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang dirancang sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen pengganti UN tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional pendidikan di tiap daerah. |
Jika tidak terikat pada konten
kurikulum, apakah asesmen ini akan menjadi tambahan beban bagi siswa/guru di
luar kurikulum yang ada?
|
Asesmen yang dilakukan oleh
otoritas (dalam hal ini Kemendikbud) berpotensi dipandang sebagai beban
tambahan karena guru dan sekolah ingin memperoleh hasil yang baik. Meski
demikian, sebenarnya asesmen literasi dan numerasi ini bukan beban tambahan.
Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten tambahan yang perlu
diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu dikembangkan melalui semua
mata pelajaran.
|
Jika digunakan untuk menilai
efektivitas sekolah, apakah asesmen baru tidak berdampak negatif pada siswa?
|
Harus diakui bahwa asesmen baru
dapat dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah.
Jika itu terjadi, asesmen baru berpotensi memiliki dampak negatif seperti
mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk mendapat skor tinggi,
serta anggapan bahwa pelajaran yang dianggap tidak relevan untuk asesmen ini
kurang penting.
Dampak seperti ini akan dimitigasi melalui berbagai cara. Yang pertama adalah rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya sesuai kebutuhan sekolah, bukan hukuman dan hadiah. Kedua, akan tersedia asesmen yang sama dalam versi yang dapat digunakan oleh guru sebagai bagian dari pengajaran sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi dengan petunjuk pedagogis dan sumberdaya belajar yang relevan untuk mengembangkan kompetensi siswa sesuai levelnya. |
Apa dampak asesmen baru bagi
siswa?
|
Asesmen kompetensi pengganti UN
akan dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa. Misalnya,
pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan akhir jenjang) membuat hasil
asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian siswa. Hasilnya
juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban tambahan bagi siswa, di
luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
|
Apa dampak asesmen pada guru dan
sekolah?
|
Analisis dan laporan hasil asesmen
kompetensi akan dibuat agar bisa dimanfaatkan guru dan sekolah untuk
memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena asesmen baru
akan didasarkan pada model learning progression (lintasan
belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu
kompetensi.
Laporan hasil asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi ancaman bagi guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah, seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua. Karena itu keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai berdasarkan level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen sebelumnya. Hasil asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah. |
Apa dasar hukum penggantian UN
dengan asesmen baru?
|
UU Sisdiknas secara eksplisit
memberi mandat kepada pemerintah – melalui lembaga mandiri – untuk melakukan
evaluasi mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen pengganti UN akan menjadi
instrumen untuk melayani fungsi tersebut.
Selain itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA) pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah dan/atau daerah yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk “meninjau kembali sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen baru yang berfungsi untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan hukum MA mengenai UN. |
Selanjutnya >>> 3 dan 4
0 komentar:
Post a Comment