Hadir di dalam acara Indonesia Data and Economic
Conference (IDE) 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem
Anwar Makarim, menjelaskan dua paket kebijakan di bidang pendidikan yang telah
dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kebijakan
pertama dikenal dengan Merdeka Belajar. Sedangkan kebijakan yang baru saja
diluncurkan beberapa waktu lalu dikenal dengan Kampus Merdeka.
Kebijakan pertama yaitu berupa pembenahan terhadap
sistem pendidikan dasar dan menengah, salah satunya adalah menghapus sistem
Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan
survei karakter. Selanjutnya, pada kebijakan kedua memberikan berbagai
keleluasaan pada perguruan tinggi tanpa harus berkoordinasi dengan begitu
banyak instansi atau kementerian lainnya.
“Jadi seratus hari ini, semua kita analisis mana yang
bisa dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai-rantai sekat-sekat
regulasi yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita. Lebih
lanjut lagi masuk ke peningkatan kualitas guru, kurikulum dan lain-lain, itu
masih butuh waktu lebih lama untuk mematangkan konsep merdeka belajar ini,”
demikian disampaikan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim di hadapan peserta IDE 2020
di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta pada Kamis (30/1/2020).
Strategi “Merdeka Belajar” merupakan strategi untuk
memerdekakan berbagai hal dalam penyelenggaraan pendidikan seperti regulasi
yang membebani guru-guru untuk bisa melakukan tugas utama mereka yaitu
melaksanakan pembelajaran. Demikian juga dengan Ujian Nasional (UN) yang
sifatnya per subjek dan begitu banyak materi sehingga terpaksa melalui metode
hafalan.
“Itu bukan salahnya guru melainkan salah kontennya
yang begitu banyak. Jadi di sana kita lepas biar sekarang kita fokus ke asesmen
kompetensi sehingga tidak ada materi yang harus dihafal melainkan daya
analisis,” terang Mendikbud.
Ada empat kebijakan Kampus Merdeka yang disebut
Mendikbud memberi kemudahan dan keleluasaan kampus. Pertama, kebebasan untuk
membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan
pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia. Kedua, kemudahan proses
reakreditasi yang selama ini begitu rumit dan mengambil waktu para dosen dan
rektor sehingga tidak fokus kepada mahasiswanya. Ketiga, kemudahan bagi
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk “naik kelas” menjadi Perguruan Tinggi
Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan kerja
sama.
"Yang terakhir yang favorit saya dari kampus
merdeka adalah upaya pembebasan SKS mahasiswa, di mana tiga dari delapan
semester diambil di luar program studi," katanya.
Upaya pembebasan SKS mahasiswa sebanyak tiga semester
dari total delapan semester program S1 dapat diambil di luar prodi maupun di
luar kampus, baik melalui magang, riset, pengabdian kepada masyarakat, dan
lain-lain. Hal ini merupakan hak setiap mahasiswa.
Dijelaskan Mendikbud, kampus dimerdekakan untuk
didorong melakukan berbagai kegiatan atau kemitraan yang sesuai dengan realitas
di dunia nyata, baik dengan organisasi nirlaba maupun dunia industri atau
perusahaan teknologi industri dan sebagainya, bahkan juga dengan universitas
kelas dunia. "Dari 'pernikahan massal' ini, baik dosen, prodi maupun
mahasiswanya akan tercipta suatu link and match," ujar Nadiem.
“Link and match yang dimaksud itu adalah bahwa apa
yang dipelajari dalam masa empat tahun di S-1 tersebut relevan atau nyambung
dengan dunia nyata. Bahwa setiap belajar sesuatu dia mengerti hubungannya apa
dengan dunia nyata, bukan sekadar teori melainkan teori yang dikontekstualkan
dalam dunia nyata, kompetensi soft skill yang riil buat dia yang tidak bisa
dilatih di lingkungan kampus,” tambah Mendikbud.
Mendikbud berharap agar kebijakan “Merdeka Belajar”
akan semakin banyak mengundang partisipasi masyarakat untuk bergabung dalam
proses pendidikan. Karena jika hanya pemerintah yang maju maka kebijakan ini
akan gagal. Oleh karena itu, harus ada perubahan pola pikir. Sebab yang bisa
melakukan pendidikan secara tepat, holistik, dan inklusif, dan relevan hanya
kombinasi antara pendidikan dan masyarakat.
Mengenai adanya resistensi di masyarakat mengenai
kebijakan baru ini, Mendikbud mengatakan bahwa hal tersebut wajar karena jika
ingin melakukan perubahan maka harus dilakukan secara drastis.
“Saya harap semua orang mengerti bahwa di Indonesia
tidak ada satupun bidang pemerintahan yang tidak harus ada lompatan. Semuanya
butuh lompatan. Memang negara kita begitu besar dan kita harus mengejar. Kalau
tidak ada yang resisten artinya perubahan besar tersebut tidak cukup berdampak.
Jadi saya melihat resistensi positif itu jadi tantangan buat kita,” pungkas
Mendikbud.
Sumber : https://www.kemdikbud.go.id
Post a Comment for "Seratus Hari Pertama, Mendikbud: Kita Potong Rantai yang Menghambat Inovasi Pendidikan"